Majas Dalam Berita: Memahami Penggunaannya
Guys, pernah kepikiran nggak sih, apakah berita yang kita baca atau tonton sehari-hari itu pakai majas atau nggak? Nah, ini pertanyaan yang menarik banget buat dibahas, soalnya seringkali kita menganggap berita itu selalu objektif dan tanpa bumbu sastra. Padahal, kenyataannya bisa jadi lebih kompleks lho. Mari kita bedah bareng-bareng, sejauh mana majas itu berperan dalam dunia jurnalistik, dan kenapa pemahaman ini penting buat kita sebagai pembaca cerdas.
Apa Itu Majas dan Kenapa Penting?
Sebelum ngomongin soal berita, kita harus paham dulu apa itu majas. Secara simpel, majas adalah gaya bahasa yang digunakan untuk menyampaikan pesan dengan cara yang khas, seringkali menggunakan perbandingan, kiasan, atau penggambaran yang imajinatif. Tujuannya apa? Biar pesannya lebih hidup, menarik, dan mudah diingat sama pembaca atau pendengar. Ada banyak banget jenis majas, mulai dari metafora, simile, personifikasi, hiperbola, sampai ironi. Masing-masing punya efek yang beda-beda. Metafora misalnya, bisa bikin konsep abstrak jadi lebih konkret. Hiperbola bisa bikin sesuatu kelihatan lebih dramatis. Nah, kalau di dunia sastra, penggunaan majas ini udah nggak heran lagi, guys. Penulis pakai majas buat nambahin kedalaman emosi, bikin karakter lebih hidup, atau sekadar bikin tulisannya jadi lebih indah dibaca. Tapi, gimana kalau di berita? Bukankah berita itu seharusnya faktual dan lugas? Nah, di sinilah letak perdebatan dan menariknya.
Majas dalam Berita: Mitos atau Kenyataan?
Pertanyaan apakah berita menggunakan majas seringkali dijawab dengan ragu-ragu. Banyak yang bilang, 'Ah, berita kan fakta, nggak mungkin pakai gaya bahasa yang berlebihan'. Tapi, coba deh kita perhatiin lagi. Ketika wartawan melaporkan sebuah peristiwa yang heboh, misalnya bencana alam, mereka seringkali menggambarkan dampaknya dengan kata-kata yang kuat, kan? Mereka mungkin pakai frasa seperti "kota itu tertelan dalam lautan api" atau "tangis pilu memecah keheningan". Kalau kita lihat secara teknis, frasa-frasa itu mengandung unsur majas, seperti metafora dan personifikasi. "Tertelan dalam lautan api" bukan berarti kota itu beneran dimakan api, tapi menggambarkan skala kebakaran yang sangat luas dan dahsyat. "Tangis pilu memecah keheningan" juga bukan tangisan yang secara fisik memecah sesuatu, tapi menunjukkan betapa sedih dan kuatnya suara tangisan itu sampai mengalahkan kesunyian. Jadi, jawabannya iya, berita BISA menggunakan majas, meskipun mungkin tidak sejelas dalam karya sastra.
Penggunaan majas dalam berita seringkali bertujuan untuk membuat laporan menjadi lebih menarik dan menggugah emosi pembaca. Bayangin aja kalau semua berita ditulis dengan gaya yang datar dan kaku. Pasti membosankan banget, kan? Wartawan, sebagai komunikator, punya tanggung jawab buat menyampaikan informasi sejelas mungkin, tapi juga seefektif mungkin. Kadang, kata-kata yang lugas saja nggak cukup buat menggambarkan kompleksitas atau dramatisasi sebuah kejadian. Di sinilah majas masuk. Ia bisa membantu pembaca untuk memvisualisasikan kejadian, merasakan dampak emosionalnya, dan memahami urgensi sebuah isu dengan lebih baik. Misalnya, ketika melaporkan krisis ekonomi, wartawan mungkin akan menggunakan hiperbola seperti "gelombang PHK mengamuk" untuk menunjukkan skala masalah yang masif. Atau ketika melaporkan kemajuan teknologi, bisa jadi pakai metafora "internet adalah urat nadi kehidupan modern".
Namun, penting juga untuk digarisbawahi, tidak semua berita menggunakan majas. Berita-berita yang sifatnya sangat teknis, seperti laporan keuangan perusahaan atau berita cuaca yang sangat spesifik, cenderung menggunakan bahasa yang lebih lugas dan faktual. Jurnalistik yang baik selalu mengutamakan akurasi dan objektivitas. Penggunaan majas pun harus tetap berada dalam koridor etika jurnalistik. Majas tidak boleh digunakan untuk memanipulasi fakta, menyebarkan opini yang menyesatkan, atau menciptakan sensasi yang tidak berdasar. Jika majas digunakan secara berlebihan atau tidak tepat, justru bisa mengurangi kredibilitas sebuah pemberitaan. Jadi, ada keseimbangan yang harus dijaga. Wartawan yang baik akan tahu kapan dan bagaimana menggunakan majas secara efektif tanpa mengorbankan kebenaran informasi. Sebagai pembaca, kita juga perlu kritis dalam menyikapi penggunaan bahasa dalam berita. Apakah majas yang digunakan membantu kita memahami isu dengan lebih baik, atau malah justru membingungkan dan menyesatkan?
Jenis-jenis Majas yang Sering Muncul dalam Berita
Oke, guys, kalau memang berita bisa pakai majas, kira-kira majas apa aja sih yang paling sering nongol? Yuk, kita intip beberapa yang paling umum:
-
Metafora: Ini dia salah satu majas yang paling sering banget kita temuin. Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal yang berbeda secara implisit, tanpa menggunakan kata perbandingan seperti 'bagai' atau 'seperti'. Dalam berita, metafora dipakai buat kasih gambaran yang lebih kuat. Contohnya, ketika ngomongin masalah korupsi, wartawan bisa bilang "Korupsi adalah kanker yang menggerogoti bangsa". Di sini, korupsi dibandingkan dengan kanker. Tujuannya jelas, biar pembaca paham betapa berbahayanya korupsi dan bagaimana ia merusak dari dalam, layaknya kanker pada tubuh manusia. Atau, "Perekonomian kita sedang berada di persimpangan jalan." Ini bukan berarti ekonomi lagi bingung milih jalan mana, tapi menunjukkan bahwa ekonomi sedang berada di titik krusial, di mana keputusan atau kejadian tertentu bisa sangat menentukan arah ke depannya. Penggunaan metafora ini bikin isu yang mungkin terdengar abstrak jadi lebih mudah dibayangkan dan dirasakan dampaknya oleh pembaca. Ini juga cara cerdas untuk membuat berita yang mungkin awalnya terasa kering jadi lebih menggigit dan berkesan.
-
Personifikasi: Majas ini memberikan sifat-sifat manusia pada benda mati atau konsep abstrak. Coba deh perhatiin kalimat kayak gini, "Pabrik itu batuk-batuk mengeluarkan asap hitam pekat." Benda mati (pabrik) diberi kemampuan manusia (batuk-batuk). Tujuannya? Untuk menggambarkan kondisi pabrik yang sudah tua, tidak terawat, dan sangat mencemari lingkungan dengan cara yang lebih dramatis dan mungkin sedikit menyentuh sisi emosional pembaca. Atau "Angin berbisik di telinga para pengungsi." Angin nggak beneran berbisik, tapi ini menggambarkan suasana yang sunyi, mungkin sedikit mencekam, atau bahkan bisa diartikan sebagai pembawa pesan atau harapan. Personifikasi membuat laporan terasa lebih hidup dan imajinatif, seolah-olah objek yang diberitakan punya perasaan atau tindakan sendiri. Ini bisa sangat efektif untuk membangun simpati atau empati pembaca terhadap subjek berita.
-
Hiperbola: Nah, kalau yang ini udah pasti buat melebih-lebihkan. Tujuannya apa? Biar lebih dramatis, biar lebih nendang, biar pembaca wow gitu. Contohnya, "Ribuan orang membanjiri lapangan itu." Ya emang sih banyak orang, tapi kalau sampai dibilang 'membanjiri', itu jelas melebih-lebihkan kan? Tapi, fungsinya di sini adalah untuk menggambarkan keramaian yang luar biasa, skala massa yang sangat besar, yang mungkin sulit diungkapkan hanya dengan kata 'banyak'. Atau "Dia menunggu seabad lamanya." Tentu saja tidak sampai seabad, tapi ini menunjukkan betapa lamanya dia menunggu dan betapa frustrasinya dia. Hiperbola sering dipakai dalam berita yang sifatnya lebih sensasional atau reportase langsung dari peristiwa heboh, di mana penulis ingin menangkap energi dan skala kejadian secara maksimal. Namun, penggunaannya harus hati-hati agar tidak terkesan mengada-ada.
-
Ironi/Sinisme: Ini agak tricky, guys. Ironi adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu yang berlawanan dengan kenyataan, seringkali dengan nada menyindir. Dalam berita, ini bisa muncul ketika wartawan ingin mengomentari situasi yang absurd atau paradoks. Contoh, setelah melaporkan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak efektif, wartawan bisa menulis, "Hebat sekali, kebijakan ini benar-benar solusi ajaib untuk masalah kompleks ini." Kata 'solusi ajaib' di sini jelas bukan pujian, tapi sindiran tajam yang menunjukkan betapa buruknya kebijakan tersebut. Penggunaan ironi atau sinisme dalam berita biasanya terbatas pada kolom opini atau editorial, di mana penulis punya ruang lebih untuk menyampaikan pandangan personal. Namun, kadang bisa juga terselip dalam narasi berita utama jika konteksnya sangat jelas dan tujuannya untuk menyoroti keganjilan atau ketidakadilan. Ini membutuhkan kejelian pembaca untuk menangkap makna sebenarnya di balik kata-kata tersebut.
-
Metonimia: Ini mirip metafora tapi agak beda. Metonimia mengganti sesuatu dengan sesuatu yang berhubungan erat dengannya. Misalnya, kalau kita bilang "Gedung Putih menyatakan sikapnya", yang dimaksud bukan gedungnya yang bicara, tapi pemerintah Amerika Serikat yang berkantor di sana. Dalam berita, ini sering dipakai biar lebih ringkas dan gaya. "Jakarta macet total." Yang dimaksud bukan seluruh kota Jakarta sebagai wilayah geografisnya, tapi lebih ke aktivitas lalu lintas di pusat-pusat keramaiannya. Atau "Wall Street bereaksi negatif terhadap data ekonomi." Ini merujuk pada pasar saham dan para pelaku bisnis di sana. Metonimia membuat laporan terdengar lebih dinamis dan menghindari pengulangan nama lembaga atau pihak secara terus-menerus.
Kapan Majas Cocok Digunakan dalam Berita?
Jadi, kapan sih sebenarnya waktu yang tepat buat pakai majas dalam berita? Jawabannya nggak selalu sama, tapi ada beberapa panduan yang bisa kita pegang:
- Untuk Menjelaskan Konsep Abstrak: Kadang, data dan fakta aja nggak cukup buat bikin orang paham. Misalnya, menjelaskan dampak perubahan iklim. Dengan metafora seperti "Bumi sedang demam", kita bisa lebih cepat menyampaikan tingkat keparahan masalahnya.
- Membangun Suasana atau Emosi: Berita tentang tragedi kemanusiaan, misalnya, butuh sentuhan emosi. Penggunaan personifikasi atau metafora yang tepat bisa bikin pembaca ikut merasakan kesedihan atau keprihatinan tanpa terkesan dilebih-lebihkan.
- Menjadikan Laporan Lebih Menarik: Jujur aja, guys, berita yang terlalu kaku itu bikin ngantuk. Majas bisa jadi 'bumbu penyedap' biar beritanya nggak monoton dan lebih enak dibaca. Tapi inget, bumbunya jangan kebanyakan sampai nutupin rasa aslinya (fakta).
- Menggambarkan Skala atau Intensitas: Kejadian besar, seperti demo jutaan orang atau bencana alam dahsyat, kadang lebih pas digambarkan dengan hiperbola agar pembaca dapat gambaran yang lebih nendang tentang ukurannya.
Batasan Penggunaan Majas dalam Jurnalistik
Nah, ini bagian penting yang nggak boleh dilupain. Sekalipun berita bisa pakai majas, ada aturan mainnya, lho:
- Jangan Sampai Menyesatkan Fakta: Ini hukumnya wajib. Majas boleh dipakai buat bikin gaya bahasa lebih bagus, tapi jangan sampai mengubah makna asli fakta atau menciptakan kebohongan. Kalau pakai metafora, pastikan perbandingannya masuk akal dan nggak bikin pembaca salah paham. Misal, jangan bilang "Banjir memakan korban jiwa ratusan orang" jika faktanya korban jiwa hanya puluhan. Kata 'memakan' di sini sudah cukup kuat menggambarkan kehilangan nyawa.
- Hindari Subjektivitas Berlebihan: Jurnalisme yang baik itu objektif. Penggunaan majas yang terlalu personal atau sarat opini (terutama di berita factual) bisa mengaburkan batas antara fakta dan pandangan jurnalis. Majas harusnya melayani penyampaian fakta, bukan sebaliknya.
- Pertimbangkan Audiens: Penggunaan majas yang terlalu rumit atau bahasanya 'tinggi' bisa jadi nggak nyambung sama pembaca awam. Pilihlah majas yang mudah dipahami dan relevan dengan latar belakang audiens yang dituju.
- Gunakan dengan Bijak dan Secukupnya: Terlalu banyak majas itu nggak bagus, guys. Ibarat masakan, kalau bumbunya kebanyakan malah jadi aneh rasanya. Gunakan majas hanya saat memang diperlukan untuk memperjelas atau memperkuat pesan, bukan sekadar buat pamer gaya bahasa.
Kesimpulan: Kritis Membaca Berita
Jadi, kesimpulannya, apakah berita menggunakan majas? Jawabannya adalah iya, bisa, dan seringkali memang digunakan. Namun, penggunaannya harus bijak, tepat sasaran, dan selalu mengutamakan kebenaran fakta. Majas dalam berita berfungsi sebagai alat bantu agar informasi tersampaikan lebih efektif, menarik, dan emosional, tanpa mengorbankan objektivitas dan akurasi. Sebagai pembaca yang cerdas, tugas kita adalah memahami cara kerja bahasa dalam berita. Kita perlu peka terhadap penggunaan majas, mengenali tujuannya, dan yang terpenting, selalu membandingkan dengan fakta yang sebenarnya. Dengan begitu, kita nggak gampang terpengaruh oleh gaya bahasa yang mungkin manipulatif dan bisa menyerap informasi dengan lebih baik. Jadi, lain kali baca berita, coba deh perhatiin lagi pilihan katanya. Siapa tahu, kamu bisa nemuin 'makna tersembunyi' di balik kalimat-kalimat yang sekilas tampak biasa. Happy reading, guys!